Pilpres 2024 Banyak Drama, Bukan Ajang Adu Program

 

Pesta Demokrasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Republik Indonesa akan segera dihelat pada 14 Februari 2024. Namun hingga saat ini, program kerja Pasangan Calon (Paslon) Capres-Cawapres tidak tampak mengemuka kehadapan publik.


Rakyat Indonesia justru disajikan dengan drama-drama politik yang menutup distribusi informasi program dari tiap paslon Capres-Cawapres. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan kegerahannya pada situasi politik nasional saat ini.


"Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah, terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat," ujar Jokowi dalam pidato pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-59 Partai Golkar,  Senin (6/11/2023).


Selain itu, Jokowi juga menganggap bahwa tahun pemilu ini harusnya di warnai dengan kompetisi ide dan kebijakan bukannya malah adu perasaan. 


“Mestinya kan pertarungan-pertarungan ide dan gagasan, bukan pertarungan perasaan, kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot kita semua," lanjutnya.


Isu-isu negatif yang dilontarkan untuk menjatuhkan kompetitor seharusnya tidak lagi dipergunakan di masa kampanye saat ini. Namun lebih kepada menonjolkan gagasan kebijakan yang diusung masing-masing paslon agar lebih dipahami oleh masyarakat. Kampanye positif semacam ini akan melahirkan pemilih-pemilih cerdas dan kritis terhadap program-program yang diusung paslon.


Kita seharusnya sudah belajar dari negara barat yang menonjolkan pembahasan program kerja. Sementara kita masih sibuk dengan pembahasan isu-isu yang tidak substantif seperti usia calon yang masih dibawah 40 tahun. 


Padahal sudah saatnya Indonesia memberikan kesempatan pemimpin muda untuk menunjukkan kapasitas kepemimpinannya. Finlandia telah membuktikan dengan terpilhnya Sanna Mirella Marin sebagai Perdana Menteri saat masih berusia 34 tahun. Permasalahan umur tidaklah menjadi bahasan yang berlarut-larut dan dibuktikan dengan prestasi dari kebijakan yang ditelurkan.


Sebagai masyarakat harusnya tetap mendukung generasi muda, karena di era digital ini generasi muda saat ini lebih kritis dan melek teknologi. Tugas kita sebagai pemilih hanya memberikan suara terhadap paslon yang dinilai pantas memimpin Indonesia untuk 5 tahun kedepan dengan melihat potensi dan kebijakan yang dilontarkannya.


Sikap yang kemudian harusnya dilakukan sebagai rakyat adalah tentunya dengan mendukung pemerintah terpilih dalam penerapan kebijaknnya. Hal ini tak lepas dari kekurangan seorang pemimpin yang merupakan manusia biasa. Bahkan sekelas Abu Bakar Ash Shiddiq ketika dibaiat sebagai seorang Khalifah tetap mengharapkan dukungan dari rakyatnya.


“Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara-mu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku. Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah,” demikianlah nukilan pidato sang Khalifah.


Indonesia kini memiliki keunggulan berupa bonus demografi, dimana masyarakat usia produktif lebih besar dibandingkan dengan usia non produktif. Artinya, usia produktif inilah yang akan menentukan nasib Indonesia kedepannya dengan pemikiran-pemikirannya. 


 "Jangan sampai bonus demografi jadi bencana demografi karena kita lebih sibuk dengan hal-hal yang tidak produktif," kata Irwan prasetyo dalam kanal youtube-nya. Maka, sudah seharusnya rakyat Indonesia di suguhi dengan berita-berita yang mengedukasi tentang kebijakan politikus. Serta fokus pada isu-isu krusial seperti kemiskinan, infrastruktur, lapangan kerja untuk perhatian rakyat Indonesia agar berpartisipasi dalam pemilihan ini.



Terakhir, penulis ingin mengingatkan anekdot yang kerap dilontarkan Alm. Gusdur tentang perumpamaan pergelaran otak sedunia yang mengatakan “Otak Indonesia tidak pernah dipakai untuk berpikir. Jadi semua yang ada di otak Indonesia masih baru dan belum pernah dipakai, maka nilainya pun menjadi sangat tinggi”.


Anekdot ini menjadi pengingat bagi kita agar menanamkan sikap kritis namun berpandangan konstruktif. Dan tidak hanya terkungkung dalam pembahasan isu-isu negatif yang tidak substansial.




Penulis : 

M. Khomsul Hubbi Akbar

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (kpi)

Fakultas dakwah dan ilmu komunikasi

UIN Mataram

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.